Kamis, 01 September 2016

DISINTEGRASI PAPUA MENUJU PERTARUNGAN INTERNASIONAL

Masalah Papua kembali dicoba ditarik ke tingkat internasional. Dua peristiwa yang terpisah telah memanaskan suasana di Papua. Pertama, bentrokan berdarah di kabupaten Puncak yang dipicu oleh masalah dalam proses Pilkada. Bentrokan itu menewaskan sekitar 20 orang. 

Kedua, serangan yang diduga dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka).  Penyerangan pertama terjadi di wilayah Pinai. Sebanyak 16 orang yang diduga OPM melarang pembangunan tower televisi Papua dilanjutkan. Tak ada korban dalam baku tembak antara polisi dan mereka. Penyerangan kedua terjadi di wilayah Nafri (1/8).

Awalnya mereka menebang pohon. Ketika satu mobil angkutan berhenti, mereka lalu menyerang dengan senjata tajam dan senjata api. Akibatnya, empat orang tewas, tiga luka berat dan dua luka ringan. Tak jauh dari lokasi itu, ditemukan bendera bintang kejora.

Peristiwa kedua ini diduga ada kaitan dengan penyelenggaraan sebuah seminar di London yang dilakukan oleh ILWP (International Lawyer for West Papua) yang menyerukan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.  Peristiwa penyerangan itu diduga sebagai dukungan terhadap seminar yang diselenggarakan oleh ILWP itu. 

 Ditengarai targetnya adalah untuk mengangkat masalah kemerdekaan Papua pada tingkat internasional.  Di Papua masalah disintegrasi pangkal masalahnya adalah adanya pihak asing yang terus memanas-manasi, bahkan mendorong terjadinya kegiatan sparatis tersebut. Upaya disintegrasi ini memang telah dilakukan secara sistematis, dengan cara menginternasionalisasi isu Papua. Asing, terutama AS, sangat jelas telah merancang upaya pemisahan Papua ini dari wilayah Indonesia. Hal ini antara lain dibuktikan dengan beberapa fakta berikut:

1. Kehadiran Sekretaris Kedubes Amerika dan utusan Australia, Inggris dan negara asing lainnya dalam Kongres Papua pada tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 yang lalu. Dalam Kongres tersebut, mereka menggugat penyatuan Papua dalam NKRI yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia dan PBB pada masa Soekarno. Menurut Kongres tersebut, “bangsa” Papua telah berdaulat sebagai bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya Kongres meminta dukungan internasional untuk memerdekakan Papua (Kompas, 5/6/2000).

2. Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62-63 Jalan Timika–Tembagapura pada 31 Agustus 2002. Peristiwa tersebut merenggut 3 nyawa karyawan Freeport Indonesia, masing-masing 2 warga negara AS dan 1 WNI, serta melukai 11 orang, 1 di antaranya anak-anak. Kasus ini terus diangkat oleh AS ke dunia internasional. Bahkan FBI dan CIA berdatangan ke Papua untuk mengusut peristiwa tersebut. Sejak saat itu, persoalan Papua berhasil diangkat oleh AS menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran HAM.

3. Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2001 yang memuat masalah Papua di Amerika pada bulan Juli 2005, yang akhirnya disetujui oleh Kongres AS. RUU tersebut menyebutkan adanya kewajiban Menteri Luar Negeri AS untuk melaporkan kepada Kongres tentang efektivitas otonomi khusus dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

4. Akhir 2005, Kongres AS mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) dengan Indonesia. Padahal sejarah mencatat, bahwa pendukung utama integrasi tersebut adalah Amerika sendiri, dimana persoalan Indonesia dianggap sebagai bagian dari masalah AS.

5. Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), menduga ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura. Wakil dari LSM saat berbicara bersama seorang anggota Komisi I DPR-RI—dalam dialog di salah satu stasiun TV nasional (22/3/2006)—tidak secara tegas menolak hal itu. Ternyata, hingga saat ini pun, ada upaya sistematis untuk mengadu-domba antarumat beragama di Papua, antara kelompok Muslim dengan Muslim di satu sisi, dan Muslim dengan non-Muslim di sisi lain. Tulisan International Crisis Group (ICG), yang dirilis Juni 2008 lalu jelas mengisyaratkan hal ini.

6. Pemberian visa sementara bagi pencari suaka pada 42 aktivis pro-kemerdekaan Papua oleh Australia. Menteri Imigrasi Australia (23/3/2006) Amanda Vanston mengatakan, “Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga.” Siapa yang dimaksud pihak ketiga, itu tidak pernah dijelaskan. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai oleh asing. Pemberian suaka ini juga merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya kemerdekaan Papua melalui proses internasionalisasi.

7. Anggota Kongres AS, Eny Faleomavaega, kembali melakukan kunjungan ke Indonesia pada 28/11/2007. Secara khusus Eny melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah Papua seperti Biak dan Manokwari. Alasan yang disampaikan oleh Eny adalah melihat langsung kondisi Papua setelah enam tahun otonomi khusus (otsus). Jika kita menelaah rangkaian kunjungan dan aktivitasnya selama ini, kedatangan Eny Faleomavaega ke Papua sebenarnya semakin mengokohkan opininya, bahwa Papua memang layak untuk merdeka.

8. Pada 16 Juni 2008, ICG mengeluarkan laporan “Indonesia: Communal Tensions in Papua”. Di sana ditulis, “Konflik Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat jika tidak dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa ‘diserang’ oleh kaum migrasi Muslim dari luar Papua. Mereka merasa Pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk mengekpansi minoritas non-Muslim. Kaum Muslim pindahan itu memandang demokrasi dapat diarahkan menjadi tirani mayoritas sehingga posisi mereka di sana terancam”. Laporan ini lebih merupakan propaganda dan upaya adu domba.

Sementara itu, surat tertanggal 29 Juli 2008 dari 40 anggota Kongres AS yang mereka kirim kepada Presiden SBY, dalam alinea terakhirnya manyatakan, ”We urge you to take action to ensure the immediate and unconditional release of Mr. Karma and Mr. Pakage. Any security officials who mistreated Mr. Karma or who may have employed inappropriate force against peaceful demonstrators should be prosecuted. Such steps would be an important indicator that Indonesia, as a member of the UN Human Rights Council, takes its international obligations to fully respect universally recognized human rights.” (Kami mendesak Anda untuk membebaskan segera dan tanpa syarat Mr. Karma dan Mr. Pakage. Siapapun aparat keamanan yang memperlakukan Mr. Karma dengan buruk atau mungkin melakukan kekerasan terhadap para pendemo yang melakukan aksi damai, maka aparat tersebut harus dihukum. Tindakan semacam itu merupakan indikator penting, bahwa Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, telah melakukan kewajiban internasionalnya untuk benar-benar menghormati HAM yang telah diakui secara universal).

Surat tersebut ternyata dimuat dan dipuji-puji dalam situs resmi The East Timor and Indonesia ActionNetwork (ETAN). ETAN adalah LSM internasional asal AS yang berpengalaman menjadi salah satu arsitek lepasnya Timor Timur dari Indonesia.


Internasionalisasi masalah Papua pada dasarnya memiliki substansi yang sama dengan proses yang terjadi di Timtim.  Intinya mendorong PBB atau dunia internasional untuk meninjau kembali penggabungan Papua dengan Indonesia.  Karena itulah, bisa dipahami adanya propaganda yang menyatakan Pepera 1969 sebagai sesuatu yang tidak sah.  Jika hal itu diterima oleh PBB dan dunia internasional, maka konsekuensinya rakyat Papua harus diberi hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan itu artinya harus dilaksanakan referendum.  Itulah yang sesungguhnya menjadi tujuan akhir dari upaya internasionalisasi masalah Papua.  Ujung-ujungnya adalah supaya Papua lepas dari wilayah Indonesia.


Aroma Pertarungan Internasional
Dari apa yang terjadi di seluruh dunia, dimana terdapat kekayaan alam yang besar maka di situ dipastikan terjadi pertarungan internasional untuk memperebutkan kekayaan itu.  Karena itu, dalam masalah Papua juga terjadi pertarungan kekuatan internasional.

Jika dilihat pada tingkat internasional, selama ini AS menggunakan kasus Papua sebagai alat penekan.  Misalnya, AS menggunakan kasus pelanggaran HAM di antaranya yang terjadi di Papua untuk sebagai alasan menjatuhkan embargo terhadap TNI. Adapun negara yang secara terbuka mendukung propaganda kemerdekaan Papua sebenarnya tidak banyak. Hanya beberapa negara kecil di Pasifik.  Tercatat hanya negara Solomon, Nauru dan Vanuatu—tiga negara kecil—di Pasifik yang terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua.  Bahkan berbagai gerakan separatis OPM secara legal telah membuka perwakilan di Vanuatu, memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood.

Di sisi lain Australia memiliki sikap terbuka yang berubah-ubah mengikuti partai yang berkuasa.  Dukungan dari pihak-pihak di Australia diberikan oleh beberapa senator, akademisi dan beberapa orang dari kalangan media. Dukungan pemerintah Australia terlihat menguat ketika Partai hijau berkuasa. Namun, secara terus-menerus Australia menjadi salah satu basis propaganda pro kemerdekaan Papua. Peran Australia ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Inggris mengingat secara tradisional para politisi dan kebijakan Australia banyak dipengaruh oleh Inggris.
Di luar semua itu, Inggris sebenarnya tidak bisa dikatakan terlepas dari pertarungan dalam kasus Papua. Memang sikap Inggris yang formal adalah mengakui kedaulatan dan keutuhan NKRI termasuk di dalamnya Papua.  Namun, sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa meski sikap formalnya demikian, negara-negara Barat juga kerap menjalankan aktifitas rahasia melalui dinas intelijennya.

Dalam kasus mencuatnya video penyiksaan di Papua pada tahun lalu, misalnya, kampanye Free West Papua yang merilis video penyiksaan TNI terhadap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), ternyata mendapat dukungan dari politisi Inggris, terutama yang ada di Parlemen.  Badan Intelijen Inggris, Secret Intelligence Service (SIS) atau M16, diduga berada di balik sikap dukungan parlemen Inggris terhadap kemerdekaan Papua itu.
Begitu pula dukungan Inggris itu tampak dari “ditampungnya” tokoh kemerdekaan Papua, Benny Wenda.  Benny Wenda yang tinggal di Inggris mendirikan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (IPWP) pada Oktober 2008. Ia mendapat dukungan dari sejumlah politisi, terutama yang berada di Inggris. 

Dia pula yang terlibat aktif atau sebagai penggerak International Lawyer for West Papua (ILWP) yang pada 2 Agustus lalu menyelenggarakan konferensi propaganda kemerdekaan Papua, bertempat di East School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford dengan mengusung tema tentang kemerdekaan Papua: “West Papua ? The Road to Freedom”.

Terkait hal itu, kita harus waspada. Dalam semua pertarungan internasional, yang paling diuntungkan selalu saja adalah pemain besar, dalam hal ini Inggris dan AS. Sementara kawasan yang diperebutkan dan penduduknya terus saja menjadi korbannya.


Bahaya Otonomi Daerah mengarah pada ancaman disintegrasi
1.      Strategi demokratisasi. Dengan diterapkanya otonomi daerah di Indonesia sejak era reformasi, tak lepas dari kepentingan asing, yakni sekulerisme global. Wacana otonomi daerah (diusung Ryas Rasyid) muncul bersamaan dengan ide federalisme (diusung Amin Rais). Wacana itu mencuat berkat profokasi pihak barat.
2.      Kapitalisasi ekonomi. Di berbagai negeri, kepentingan-kepentingan mendorong terjadinya pelimpahan wewenang ke daerah. Semua ini dilakukan untuk mendorong masuknya kepentingan swasta yang nantinya diharapkan bisa memberikan devisa yang banyak bagi kas daerah dan pusat.
3.      Ancamana disintegrasi. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daearh telah mengkotak-kotakkan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin. Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era OTDA tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu propinsi pecah menjadi dua-tiga propinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten dan seterusnya. Dari sinilah bahaya disintegrasi bangsa sanagat mungkin terjadi,bahkan peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa.

Solusi Total

Masalah Papua, seperti halnya masalah daerah-daerah lainnya bahkan masalah seluruh negeri kaum Muslim, tidak pernah bisa dituntaskan di bawah sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini.  Masalah itu hanya akan bisa dituntaskan dengan penerapan syariah Islam secara total.
Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas di Papua yang saat ini dikuasai Freeport, ditetapkan sebagai hak milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali.  Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi swasta asing.  Kekayaan itu harus dikelola oleh negara yang mewakili rakyat dan hasilnya keseluruhannya dikembalikan kepada rakyat, di antaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat.

Kemudian hasil dari pengelolaan berbagai kekayaan alam itu ditambah sumber-sumber pemasukan lainnya akan dihimpun dalam kas negara dan didistribusikan untuk membiayai kepentingan pembangunan dan pelayanan kepada rakyat.  Dalam hal pendistribusian itu, yang dijadikan patokan adalah bahwa setiap daerah akan diberi dana sesuai kebutuhannya tanpa memandang berapa besar pemasukan yang berasal dari daerah itu. Dalam hal menetapkan besaran kebutuhan itu, maka yang menjadi patokan adalah kebutuhan riil mulai dari yang pokok lalu ke yang pelengkap dan seterusnya. Masalah pemerataan dan kemajuan semua daerah juga diperhatikan. Sebab, Islam mewajibkan negara untuk menjaga keseimbangan perekonomian agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya atau di kalangan tertentu atau di daerah tertentu saja.

Islam pun mewajibkan negara berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia; tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apapun dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat.  Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar sektarianisme (suku, etnik, ras, dll).
Semua upaya di atas hanya bisa diwujudkan melalui penerapan Sistem Islam secara total dalam institusi Khilafah Rasyidah.
Wallahu’alam bishawab.
Rindy [Korwil SENADA An-nisa Medan]

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment

0 komentar: