Jumat, 29 Juli 2016


Pengungsi akibat bentrok Timika kebanyakan perempuan dan anak-anak. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Liputan6.com, Jayapura – Mama Mira Kogoya (27) sedang terlelap dalam tidurnya pada Minggu malam, 25 Juli 2016 lalu. Tiba-tiba, ratusan orang menyerang pemukimannya di Kampung Jile-Jale, Satuan Pemukiman (SP) III, Kota Timika.   

"Dorang (mereka) melakukan penyerangan sembarangan. Mama-mama banyak yang kena panah, ternak kami diambil dan dibunuh, bahkan rumah kami dibakar. Banyak warga yang lari ke hutan malam itu," kata dia kepadaLiputan6.com, saat ditemui di tenda pengungsiannya yang terletak di Lapangan Asrama Toli, Polomo Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, pada Kamis (28/7/2016).

Pada pagi harinya, warga di kampung itu dikumpulkan dalam satu rumah warga untuk saling menjaga satu dan lainnya. Rata-rata yang berada di dalam satu rumah adalah perempuan dan anak-anak.

"Kami trauma, sebab biasanya bentrok warga tak seperti ini. Mereka menyerang siapa saja. Seharusnya yang diserang hanya kaum laki-laki, bukan anak dan perempuan dan mereka tak boleh memasuki kampung ini," ujar Mira.

Akibatnya, ratusan warga di Kampung SP III mengungsi ke Sentani di Kabupaten Jayapura. Warga pun membeli tiket Timika-Jayapura dengan dana pribadi masing-masing dengan harga tiket per kepala sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.

"Kami terpaksa melakukan pengungsian ke Jayapura, sebab belum ada jaminan keamanan di sana," ucap Mira.

Koordinator pengungsi Timika, Joni Wonda mengatakan saat ini jumlah pengungsi mencapai 549 orang. Para pengungsi memilih tinggal berdekatan dengan ibu kota Provinsi Papua, agar merasa lebih aman dan ingin meminta perhatian pemerintah karena rumah dibakar dan harta benda warga dijarah.



"Mereka tak akan kembali ke kampungnya, karena tak ada lagi tempat tinggal. Jika memang pemerintah ingin membangun rumah mereka kembali, harus ada jaminan dari pemerintah daerah agar tak ada lagi perang berkelanjutan," ungkap Joni.
Joni mengaku perang kali ini lebih brutal dari sebelumnya, sebab seharusnya perang atau bentrok warga tak menyerang kaum perempuan dan anak-anak. Biasanya, lokasi perang pun ditentukan antara kedua belah pihak.

"Baru kali ini, mama-mama sedang menggendong anaknya kena panah di bagian pinggangnya. Anak gadis kami juga banyak diperkosa. Ini sudah keterlaluan. Rumah kami dibakar, ternak dibunuh dengan sembarangan dan motor ataupun harta lainnya dibawa kabur. Di dalam perang antarwarga, biasanya juga ada sebuah komando dan ada batasan-batasannya," jelas Joni.

Untuk kebutuhan hidup sehari-hari, pengungsi mendapatkan makanan dan minuman dari warga setempat, entah itu hanya berupa umbi-umbian atau mi instan. "Sampai saat ini, belum ada bantuan dari pemerintah. Kami masih mendapatkan sumbangan makanan dari warga di sekitar pengungsian," ucap dia.

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment

0 komentar: